Skip to content

Sejarah

Jalan Panjang Terbentuknya Majelis Musyawarah Sunda 

Terinspirasi Kongres Pemuda Sunda 1956

Pada mulanya sejumlah tokoh memprihatinkan kondisi kekinian Urang Sunda, penyebutan diri orang-orang yang mendiami wilayah pulau Jawa bagian barat. Mereka berbincang satu dengan yang lain, yang pada umumnya cemas, kecewa, dan bahkan tidak puas dengan keadaan yang mereka alami pascareformasi 1998. Dengan merujuk kepada peradaban Sunda masa silam, mereka umumnya menyayangkan keadaan Sunda masa kini yang dinilainya kurang beruntung, terpuruk secara sosial ekonomi, dan terpinggirkan secara politik. Perbincangan tersebut berkelindan dengan dinamika sosio-politik yang berkembang saat itu. Pertanyaan seperti mengapa tidak ada (sedikit saja) tokoh Sunda dalam panggung politik nasional? Bersahut-sahutan dengan pertanyaan mengapa Dana Alokasi Umum yang diperoleh Jawa Barat jauh lebih kecil dari provinsi lain di Jawa, padahal secara demografi jumlah penduduk Jawa Barat paling banyak di Indonesia (Lebih dari 57 juta jiwa). Belum lagi soal program Pemerintah Pusat yang menjadikan Jawa Barat sebagai destinasi utama investasi dan  dikembangkannya proyek-proyek industrialisasi di wilayah utara, berhadaphadapan dengan kenyataan bahwa daya dukung tanah dan air Jawa Barat semakin menurun serta apakah rakyat Jawa Barat yang bakal menikmati buah manis investasi itu? 

 

Selangkah berikutnya, pertanyaan yang mengemuka adalah lalu bagaimana nasib lemah cai  (tanah air) dan Urang Sunda pada masa yang akan datang harus ditangani?

 

Para aktivis Sunda mendapati bahwa ada kisah sukses yang patut menjadi benchmark dari praktik tokoh-tokoh terdahulu dalam merespon persoalan ini. Pada tahun 1956 sastrawan asal Kadipaten, Ayip Rosidi (kala itu berusia 18 tahun) menggagas sebuah kongres sebagai respon terhadap perbincangan yang ramai di media massa tentang kekesalan Orang Sunda terhadap Pemerintah RI. Dalam bahasa Ayip Rosidi : “Jika begitu, penting sekali mengadakan kongres, agar semua orang Sunda dan tokoh-tokohnya, bisa berdiskusi (bermusyawarah) apa dan bagaimana kemauannya.” Inilah cara Urang Sunda melakukan konsolidasi terkait dengan bagaimana berkontribusi terhadap negara Republik indonesia yang masih berusia muda. Gagasan ini mewujud di Bogor dengan digelarnya Kongres Pemuda Sunda pada 4-7 November 1956. Ada tiga hal yang menjadi pokok rekomendasi kongres, salah satunya  terkait peningkatan sumberdaya manusia Sunda. Ini diwujudkan dengan mendirikan Universitas Padjadjaran (Unpad) di Bandung setahun kemudian. Dan kita semua tahu, saat ini Unpad telah memainkan peran besar dalam melahirkan generasi Indonesia terdidik dari masa ke masa.

 

Para aktivis Sunda percaya model KPS ini bisa diterapkan kembali dalam mewadahi kegundahan Urang Sunda masa kini. Terlebih, Urang Sunda menemukan sandaran keilmuan pada model “three step flow of management”  dari khasanah kuno peradaban Sunda: Prok-Pek-Prak

 

  • Pa amprok artinya bertemu untuk bermusyawarah
  • Pek itu berbagi tugas
  • Prak jalankan keputusan sesuai rencana).
 

Itulah yang melatari kemudian munculnya gagasan penyelenggaraan Kongres Sunda pada tahun 2019 di Kantor pengacara Dindin S. Maolani di Jalan Saledri, Bandung. 

 

Tiga Arah Pemikiran dari Hotel Horison

Pertemuan besar pun digelar sebagai langkah lanjut untuk mewujudkan gagasan kongres Sunda. Sejumlah tokoh hadir pada pertemuan yang berlangsung di Hotel Horison, Bandung. Dalam pertemuan itu salah satu hal yang menarik ialah diangkatnya kembali konsepsi tatanan klasik masyarakat Sunda yang disebut Tri Tangtu Di Buwana yang merujuk pada naskah kuno Carita Parahyangan. Konsepsi ini menyatakan bahwa ada tiga ruang sosial dalam suatu masyarakat yakni Karamaan, Karesian, dan Karatuan. Masing-masing memiliki tanggungjawab dan tugas yang saling interkoneksi dalam membangun peradaban Sunda yang mulia. Karamaan diisi oleh orang-orang bijak yang nasihat dan petuahnya didengar dan dipatuhi oleh seluruh warga masyarakatnya, Karesian menjadi tempat para cendikiawan dan pemikir yang bertanggungjawab memformulasikan strategi pemajuan peradaban dalam merespon tantangan zaman, dan Karatuan menjadi wilayah para eksekutor dari formula yang ditetapkan oleh para resi dengan tetap mengikuti nasihat dan petuah sang Rama. Dalam pertemuan berikutnya, Ratu Okki Judanegara dari komunitas adat Sunda melengkapi Tri Tangtu di Buana ini dengan satu ruang lagi yang disebut Keranggaan. Menurutnya dalam sistem sosial masyarakat era Kerajaan Tarumanegara, kaum rangga ini efektif merealisasikan kerja-kerja peradaban yang dititahkan para elit saat itu.

Dari diskusi di Hotel Horison itu muncul tiga arus pemikiran yang kelak menentukan jalannya perwujudan kongres.

 

Pertama, pemikiran yang mengarahkan kongres sebagai gerakan politik kedaerahan, dengan spektrum yang cukup lebar dari usaha membangkitkan kembali organisasi politik kesundaan masa silam  hingga perlunya mengubah nama provinsi Jawa Barat menjadi provinsi Sunda. Bagi sejumlah pihak, terutama dari kalangan pemerintah, pemikiran ini menjadi titik api yang diamati dengan penuh was-was.

 

Kedua, pemikiran yang mengarahkan kongres sebagai gerakan kebudayaan untuk  kembali ke masa silam. Spektrumnya pun cukup luas, dari yang sebatas mengelu-elukan keagungan peradaban Sunda era prabu Siliwangi hingga yang berusaha mewujudkan kembali peradaban itu sebagai solusi permasalahan Sunda masa kini.

 

Ketiga, pemikiran yang mengarahkan kongres sebagai gerakan peradaban yang berorientasi pada masa depan Sunda. Pemikiran ini meletakkan pemahaman bahwa persoalan Urang Sunda bukan melulu masalah politik tetapi Iapoleksusbudhankam (Ideologi, Agama, politik, sosial, ekonomi, kebudayaan, dan pertahanan keamanan), sehingga membutuhkan penanganan yang menyeluruh. Dan urgensi  kongres  tidak sebatas pada pengagungan masa silam tetapi juga meletakkan fondasi yang kuat bagi generasi Sunda masa datang. Dalam pada itu, ketiga arah pemikiran ini menyetujui gambaran akhir sebagai buah dari Kongres Sunda yang mereka idamkan, yang dirumuskan dalam satu tarikan nafas :

Sunda Mulia – Nusantara(Indonesia) Jaya.

 Pertemuan ini berlanjut dengan pertemuan kecil berikutnya pada awal tahun 2022 di rumah Popong Otje Djundjunan, politikus wanita sekaligus tokoh sepuh Sunda yang sangat dihormati. Pertemuan menyepakati dibentuknya Forum Sunda Ngahiji (FSN) sebagai wadah pergerakan guna terlaksananya Kongres Sunda. Hadir dalam pertemuan ini tokoh sunda yang juga sangat dihormati , Tjetje Hidayat Padmadinata. Sayangnya beliau tak sempat menyaksikan berdirinya entitas yang beliau idam-idamkan dalam sejarah perjuangannya dalam memajukan peradaban Sunda. Tjetje wafat  pada 9 November 2022, jasanya sungguh besar dalam memperbesar api semangat mewujudkan Kongres Sunda ini.

 

Lima Penjaga Api Kongres dan Silaturahmi di Mugaba

Namun proses berikutnya tak berjalan seperti yang direncanakan. Terlebih, memasuki tahun 2019 pandemi Covid -19 mulai membayangi dan kemudian menjadi bencana nasional sejak tahun 2020-2021. Meski demikian, sebuah panitia kecil yang dipimpin oleh Andri Kantaprawira, aktivis Sunda sekaligus ketua  Gerakan Pilihan Sunda dan Avi Taufik Hidayat, politisi muda yang aktif dalam kegiatan kesundaan,  duet yang gigih. Mereka  dibantu oleh Nina Kurnia Hikmawati, akademisi yang aktif dalam kegiatan kesundaan dan Rieta Rusman, aktivis perempuan Sunda dalam pergerakan koperasi, serta R. Dyna Ahmad, aktivis politik sekaligus pegiat budaya Sunda.

 

Mereka berlima terus bergerak memelihara api semangat kongres.  Salah satunya dengan membentuk Whatsapp Group (WAG) Pakar Kongres Sunda, tercatat ada lebih dari 250 tokoh Sunda bergabung dalam WAG ini. WAG ini segera menjadi titik api dari kongres Sunda. Panitia  terus mematangkan agenda yang perlu dibahas dan mencari model kongres seperti apa yang cocok untuk saat ini. Mengingat teknologi komunikasi sudah sedemikian pesatnya sehingga pertemuan-pertamuan fisik tak menjadi keharusan, pertemuan secara daring lebih sering dilakukan via aplikasi Zoom.  Termasuk menentukan siapa yang menjadi peserta kongres, kapan dan dimana kongres bakal digelar.

 

Dalam mencari jalan bagi terselenggaranya kongres Sunda, panitia yang gigih ini menemukan sejumlah peluang. Dengan semangat berkolaborasi yang kuat dan patronase yang diperluas, panitia mendapat tawaran dari seorang tokoh Sunda berlatar belakang pensiunan militer dan mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL), Laksamana (Purn)TNI Ade Sopandi. Ia menawarkan museum pribadinya yang diberi nama Mugaba (Museum Galeri Bahari Banuraja) yang berlokasi di Pangauban, Bandung Barat menjadi tempat dilaksanakannya silaturahmi para tokoh Sunda dalam rangka Halal Bi Halal Idul Fitri 1443 H (tahu 2022).Tak kurang dari 200 tokoh hadir dalam kesempatan itu, tak terkecuali Gubernur Ridwan Kamil dan Wakil Gubernur UU Ruhzanul Ulum.  Silaturahmi ini  berubah menjadi ajang konsolidasi tokoh Sunda guna mewujudkan Kongres Sunda yang diwujudkan dengan dideklarasikannya Forum Sunda Ngahiji (FSN) . Acara konsolidasi juga ditandai dengan ramainya penandatanganan dukungan terhadap Kongres Sunda pada sebuah kanvas yang disediakan. Bahkan saat itu uga sudah muncul target waktu yakni pada Oktober 2022.

 

Empat Agenda dan Persoalan Peserta Kongres

Pertemuan kecil panitia yang dilakukan melalui Zoom Meeting selanjutnya berhasil menetapkan empat agenda yang bakal dibahas dalam Kogres Sunda yakni :

  1. Adeg-adeg Tangtungan Sunda (Jati Diri) yaitu merumuskan jati diri Sunda Unggul (pemenang) dengan merumuskan Strategi Kebudayaan Sunda sesuai Undang-undang Nomer 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
  2. Sunda, Sarakan jeung Nagara yaitu membahas hal-hal berkaitan dengan kepentingan, komitmen dan peran uarng Sunda kepada Lemah Caina dan Nagara. Bidang-bidang yang dibahas terutama diarahkan pada masalah sosial ekonomi, politik, agrarian, tata ruang dan lingkungan hidup serta masalah pemekaran daerah Otonomi Baru secara parsial untuk Provinsi Jawa Barat.
  3. Mengembalikan Nama Provinsi Jawa Barat menjadi Provinsi Sunda, Tatar Sunda dan Pasundan secara menyeluruh maupun dengan siter title (sesebutan) pada aturan penutup Undang-undang Provinsi Jawa Barat yang baru. Perubahan nama dapat Permendagri Nomor 30 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Nama Daerah, Pemberian Nama Ibu kota, Perubahan Nama Daerah, Perubahan Nama Ibu Kota dan Pemindahan Ibu Kota, maupun dengan menggunakan celah masalah Karakteristik daerah dalam Naskah Akademik tahun 2022 tentang RUU Provinsi Jawa Barat yang baru.
  4. Sunda dan Kepemimpinan Nasional.Posisi urang sunda dalam Pemilu DPR/DPD/DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024 untuk memperkuat posisi representasi urang Sunda di Nasional, Jawa Barat, Jakarta dan Banten.
 

Sementara untuk siapa yang akan menjadi peserta muncul problematika terkait utusan organisasi kesundaan. Mengingat ada begitu banyak organisasi Sunda baik yang sangat besar dan legendaris dengan usia lebih dari 100 tahun, beragam organisasi masyarakat adat, hingga kaum milenial Sunda. Ini terkuak antara lain dalam pertemuan yang berlangsung di sebuah kafe di Jalan Cihapit Bandung.

 

Perubahan Nama atau Pencabutan Moratorium

Salah satu yang sangat panas  dalam pembahasan panitia ialah agenda nomor 3 terkait pengusulan perubahan nama Provinsi Jawa Barat menjadi Provinsi Sunda. Dengan merujuk pada narasi tentang asal-usul nama  Sunda yang dikaitkan dengan penamaan geologis, historis maupun mitologis, para penyokongnya meyakini bahwa perubahan nama provinsi menjadi berkah yang bisa mengeliminasi berbagai keterpurukan provinsi ini. Termasuk kajian administrasi pemerintahan yang membahas peluang perubahan ini dilakukan dengan mengambil momentum penyusunan Undang-Undang tentang Provinsi Jawa Barat yang baru.

 

Isu pergantian nama provinsi ini sempat menghangat ketika Fadli Zon, anggota DPR RI  dari daerah pemilihan Kabupaten Bogor berkunjung ke Perpustakaan Sunda Ayip Rosidi di Jalan Garut, Bandung. Dalam perbincangannya  dengan sejumlah panitia kongres ia mendorong agar usulan tersebut disampaikan ke DPR RI dan ini segera menjadi berita nasional. Pada kesempatan lain, Fadli Zon juga menawarkan diri untuk memfasilitasi penyelenggaraan kongres Sunda di Bogor.

 

Pada bagian lain, ada pihak yang berpendapat bahwa yang lebih urgen ialah mendorong Pemerintah Pusat untuk mencabut moratorium pemekaran daerah yang membuat usaha masyarakat Jawa Barat memperoleh keadilan dalam hal perolehan DAU jadi terhambat. Argumentasinya, selama ini pembangunan Jawa Barat sangat terhambat karena dana yang diperoleh dari pemerintah dihitung berdasarkan jumlah kabupaten/kota (27 kabupaten/kota), bukan berdasarkan jumlah penduduk (54 juta jiwa). Akibatnya, perolehannya jauh lebih kecil dari pada provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur yang memiliki jumlah kabupaten/kota jauh lebih sedikit dari Jawa Barat.

 

Sulitnya Menemui Sang Gubernur

Hingga pertengahan tahun 2023, pergerakan panitia kongres masih jauh dari yang diharapkan.  Ada  pemahaman bahwa kongres juga harus berpatron kepada Gubernur sebagai kepala pemerintahan provinsi Jawa Barat. Sebagian panitia percaya bahwa kongres tak bisa berlangsung bahkan tidak akan kredibel kalau belum ada restu dari gubernur Jabar yang saat itu dijabat oleh M. Ridwan Kamil (RK). Dalam hal ini, berbagai upaya dan pendekatan telah dilakukan oleh elemen-elemen Kongres Sunda baik secara formal maupun nonformal terhadap RK. Sayangnya sampai akhir masa jabatan gubernur RK Panitia Kongres Sunda tak berhasil bertemu dengannya. Ada banyak spekulasi tentang hal ini. Secara bergurau saya sampaikan:”Mengapa meski harus menunggu restu gubernur? Bukankah Kongres Pemuda Indonesia tahun 1928 juga tidak dihadiri oleh Gubernur Jenderal?”

 

Panitia Kongres bukan tanpa tantangan serius. Dalam berbagai kesempatan,  muncul sangkaan kepada panitia terkait “yang paling sunda” dan “mendagangkan kongres”. Belum lagi ketidakberhasilan mereka menemui gubernur untuk berkoordinasi terkait penyelenggaraan kongres membuat sebagian panitia dijalari pesimisme. Meski sempat menurunkan semangat tapi panitia kongres bangkit menjawab sangkaan itu.  Mereka berpartisipasi aktif dalam Forum Sunda Ngahiji (FSN) yang dibentuk atas inisiatif Angkatan Muda Siliwangi (AMS) di pertemuan Mugaba.

 

Usulan Majelis Muncul di Gedung Merdeka

Sebuah kegiatan digelar oleh FSN pada 21 Agustus 2022 di Gedung Merdeka. Kegiatan ini sukses mengkonsolidasi urang Sunda di perantauan (Sunda Pangumbaraan) untuk menjadi bagian utama dari isu Kongres Sunda. Tercatat hadir perwakilan Sunda Pangumbaraan yang berhasil dibentuk  di  21 Provinsi. Menariknya dalam kesempatan ini FSN mendeklarasikan dukungan kepada Ridwan Kamil, Gubernur Jabar saat itu, untuk menjadi calon presiden pada Pilpres tahun 2024. Menurut ketua panitia Noer Ispanji:” Sudah saatnya orang Sunda menjadi pemimpin di Republik Indonesia untuk memberikan perubahan ke arah yang lebih baik dan maju.” Dukungan itu tentu saja memberi semangat bagi Gubernur untuk mendukung pelaksanaan pertemuan, bahkan mendorong agar FSN merealisasikan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sunda (MPRS) dengan fasilitasi pemerintah Jawa Barat.

Gagasan pembentukan MPRS langsung direspon dengan membentuk panitia kecil dan menggelar sejumlah pertemuan dengan pihak Pemerintah Daerah oleh panitia dan tokoh FSN. Noeri Ispanji menyediakan kantor sekretariat AMS di Jalan Braga-Bandung sebagai posko panitia kecil ini. Wacana yang berkembang kemudian lembaga tersebut akan dibentuk oleh pemerintah provinsi melalui Keputusan Gubernur dan ditempatkan sebagai wadah kebudayaan.

 

Makin Terang Wujud Majelis di Gedung Sate

Pada sebuah pertemuan tokoh FSN dan Panitia Kongres dan sejumlah pejabat pemprov Jabar yang berlangsung di kantor Sekretaris Daerah Jawa Barat di Gedung Sate, Dr. Ganjar Kurnia, guru besar sekaligus mantan Rektor Unpad yang sangat peduli peradaban Sunda  menyampaikan pokok-pokok pikiran yang semakin memperjelas lembaga seperti apa yang dimaksud dengan Majelis ini. Ganjar  menolak formalisasi kelembagaan majelis, karena baginya sudah cukup banyak organisasi kesundaan, sehingga kehadiran lembaga formal hanya menambah keruwetan saja. Ia mengandaikan entitas ini seperti sebuah kaukus, dimana representasi dari organisasi kesundaan dan tokoh-tokoh Sunda berkumpul dan menggelar musyawarah secara berkala membahas isu-isu yang dianggap penting tanpa harius terikat dalam suatu tata organisasi seperti AD/ART layaknya organisasi formal. Kepemimpinan majelis juga bersifat presidum dan bersifat kolektif kolegial.  Tentu saja, ia tetap memandang penting majelis sebagai wahana bermusyawarah untuk  menghasilkan sesuatu yang berbentuk rekomendasi atau pernyataan atas hal-hal yang menjadi persoalan atau  perhatian Urang Sunda. Ia juga berharap majelis memiliki pengaruh yang kuat, melalui perhatian dan tindaklanjut oleh semua pihak, terutama Pemerintah, atas pernyataan maupun rekomendasi yang dibuat majelis.

 

Lagi, usaha menggelar Kongres Sunda mengalami hambatan. Terlebih, pembentukan majelis bakal difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi dengan menyiapkan suatu Keputusan Gubernur (KepGub) mendapat kritikan keras sejumlah pihak, mengingat majelis hakikatnya bersifat pengorganisasian masyarakat sipil. Meskipun Pemerintah berpendapat itu dimungkinkan mengingat sejumlah komite saat ini berhasil mereka bentuk sebagai pelaksanaan paradigma pentahelix ABCGM (kolaborasi antara Academy-Business-Community-Government- Media) seperti Komite Pemulihan Ekonomi Daerah (KPED) dan Komite Advokasi Daerah (KAD) serta Komite Vokasi Daerah (KVD). Penolakan juga menguat, mengingat majelis ini masih dipersepsi sebagai entitas masuk  kategori lembaga kebudayaan. Ini dianggap jauh dari yang seharusnya, mengingat majelis permusyawaratan memiliki cakupan yang luas dan tinggi dari sekadar kebudayaan.

 

Gunung Pananggeuhan di Rumah Kebangsaan HD Sutisno

Pandemi Covid-19 yang mereda membuat ruang gerak panitia mulai leluasa. Dokumen kongres sudah berhasil diselesaikan oleh panitia. Bahkan sudah mulai muncul roadmap kongres yang ditargetkan bisa direalisasikan sebelum oktober 2023. Sebuah inisitaif digelar oleh salah satu anggota WAG Pakar Kongres Sunda, Agung Suryamal, pemilik Rumah Kebangsaan HD Sutisno di Jalan Soekarno Hatta Bandung. Ia memfasilitasi pertemuan para sesepuh Urang Sunda. Dalam pertemuan tersebut, sejumlah tokoh berbicara tentang bagaimana seharusnya kongres dijalankan. Adalah Burhanudin Abdullah, mantan Gubernur Bank Indonesia dan juga mantan menteri perekonomian pada kabinet Gus Dur, menyampaikan pandangannya tentang gunung pananggeuhan.

 

Gunung Pananggeuhan adalah idiom dalam bahasa Sunda yang ditemukan dalam peribahasa maupun naskah-nasah sastera Sunda. Gunung penanggeuhan bermakna tempat tinggi untuk bersandar. Maknanya kemudian diperluas menjadi tempat orang-orang bijak di tanah Sunda berkumpul untuk membahas dan menemukan solusi atas apa yang dikeluhkan oleh orangorang kebanyakan. Dalam kerangka inilah, Panitia menemukan titik terang apa wujud entitas yang bakal dilahirkan dari aktivitas kongres.  Konsepsi tentang Gunung pananggeuhan kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh Panitia Kongres sebagai majelis permusyawaratan.

 

Dalam perjalanannya, Noeri Ispandji Firman salah satu inisiator MPRS wafat karena sakit pada 12 Juli 2023. Innalillahi wainailaihi rajiun. Ini kehilangan sangat besar. Pergerakan kongres  sangat berutang budi kepada tokoh muda yang dikenal sebagai ketua Angkatan Muda Siliwangi (AMS).

 

Dari Kongres Menjadi Sawala

Ganjar Kurnia, guru besar sekaligus mantan rektor Unpad sedikit dari tokoh yang peduli dengan keberlanjutan Kongres Sunda. Melihat gelagat mandegnya pergerakan, ia mengambil inisiatif untuk menggelar pertemuan dengan  panitia Kongres yang dilangsungkan di Hotel Preanger.  Dalam pertemuan itulah disepakati tidak usah menggunakan istilah Kongres Sunda sebagai gantinya ia menyodorkan nama Sawala Sunda. Ia juga menawarkan Balai Pertemuan Grha Sanusi Hardjadinata di Kampus Unpad Jalan DIpati Ukur Bandung sebagai tempat menggelar acara dimaksud.

 

Benar saja, Sawala Sunda yang bermakna diskusi tentang Sunda itu dapat digelar dengan relatif mudah tanpa kendala berarti. Mengambil tema Mapag Sunda Kahareupna (menyongsong masa depan Sunda) Sawala dilakukan pada tanggal 19 Agustus 2023. Perlu dicatat tanggal 19 Agustus merupakan hari jadi Provinsi Jawa Barat. Sawala dihadiri oleh lebih dari 250 tokoh. Tercatat sejumlah nama hadir dalam pertemuan ini antara lain Iwan Sulanjana, Tatang, Acil Bimbo, Memet Hamdan, Ferry Rizki, Boeki Wikagu.  Tak ketinggalan sesepuh Sunda HD. Sutisno juga hadir. Peserta juga datang dari luar provinsi Jawa Barat, seperti dari Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, Jawa Tengah, Banten, dan   Tak ada pihak pemerintah yang diundang. Sawala dimoderatori oleh Mahpudi dari Losari-Cirebon yang dikenal sebagai Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Jawa Barat.

 

Sebelum sesi diskusi dimulai, ada empat nara sumber yang diberi kepercayaan untuk memantik sawala. Pertama, Cye Retty Isnendez, akademisi dari Universitas Pendidikan Indonesia yang menyampaikan konsepsi tentang Adeg-adeg Manusia Sunda. Menurut Cye Retty Urang Sunda memiliki nilai-nilai yang diperolehnya dari keyakinan (agama &kepercayaan), pemahaman akan alam sekitar, serta olah pikir yang dilakukannya. Nilia-nilia tersebut terdokumentasikan baik melalui folklor, kearifan lokal, prasasti, dan naskah-naskah kesundaan. Cye Retty mengungkapkan bahwa ada lima ciri Urang Sunda yang disepakati yakni Nyunda, Nyantri, Nyakola, Nyantika, Nyatria. Dalam menjalani hidupnya Urang Sunda memiliki sembilan jalan yang dapat ditempuh menuju ke kawaluyaan (kesehatan diri) yakni cageur, bageur, bener, pinter, teger, pangger, wanter, singer, dan cangker. Dalam berinteraksi dengan sesama, Urang Sunda menerapkan nilai-nilai yang disebut  trisilas, yakni Silih Asah, Silih Asih, dan Silih Asuh. Nilai-nilai tersebut masih tetap relevan bagi urang Sunda baik pada masa kii maupun masa datang. Persoalannya adalah bagaimana nilai tersebut dapat terus diwariskan dari generasi ke generasi, terutama kepada generasi milineal yang telah mengalami perkembangan zaman teramat pesat.

 

Narasumber kedua Burhanudin Abdullah mengupas kerumitan daya saing Urang Sunda dengan pendekatan ekonomi makro. Alumni Michigan State University, Amerika Serikat  ini membuka pembicaraannya dengan menanyakan bahwa jika orang Amerika memiliki American Dreams apakah Urang Sunda memiliki Sundanese Dreams? Jika iya, Seperti apa mimpi Urang Sunda tentang perikehidupannya? Dengan mengemukakan sejumlah data mutakhir tentang profil ekonomi Jawa Barat, Burhanudin menyatakan bahwa wajar kalau urang Sunda memiliki mimpi yang luhur. Bahwa kita ingin “diajenan” oleh saudara-saudara kita, ingin mendapat kehidupan yang layak,hingga menjadi pemimpin  di level nasional. Masih menurut Burhanudin, Sudah pasti kita harus memperkaya diri dnegan ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk bisa hidup berdaulat sebagai pribadi dan sebagai komunitas. Sayangnya, pendapatan perkapita Jabar masih sekitar USD 3000-an. Demikian pula kualitas manusia kita (Indonesia dan termasuk Jawa Barat tentunya), menurut PISA( Programme fo International Student Assesment) urutan kita di posisi 72 dari 77 negara yang diukur. Yang mencemaskan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat (untuk triwulan II) tahun 2023 memang lebih tinggi dari nasional (5,17%), namun itu lebih bersumber pada permintaan domestik (konsumsi rumahtangga, Investasi, dan perdagangan anatrprovinsi), dan secara sektoral berasal dari industri pengolahan, perdagangan besar dan digitalisasi.

 

Dengan kata lain, pertumbuhan itu lebih dipacu ekonomi padat modal. Siapa yang mendapat berkah dari ekonomi demikian, orang Sunda kah? Menurut Burhanudin Abdullah tantangan bagi perekonomian Jawa Barat antara lain (1) penurunan ekspor di sekotr industri, terkstil, alas kaki, dan elektronik, (ii) rendahnya produktivitas sektor pertanian, (iii) disparitas kegiatan ekonomi dan sosial antar wilayah di Jawa Barat. Perlu diketahui bahwa gini ratio Jabar 0,403 sementara nasional 0,381. Dalam kerangka ini, memacu pertumbuhan pembangunan di jabar Utara dan Jabar Selatan menjadi keharusn. Rumiitnya, semua itu memerlukan likuiditas finansial yang di tingkat nasional pun menghadapi kedala serius. Berdasarkan analisis itu Burhanudin menyodorkan beberapa pemikiran awal yakni: (1) Investasi asing dan domestik harus terus ditingkatkan dengan menciptakan iklim investasi yang kondusif utamanya kepastian hukum, (2) menyusun peta jalan digitalisasi Jawa Barat yang terintegrasi, dan (iii) membangun kelembagaan usaha secara bertahap dengan mengubah dari “shareholder capitalism” menjadi “stakeholder capitalism” agar sejalan dengan demokrasi ekonomi pasal 33 UUD 1945. Dalam bahasa Burhanudin, Urang Sunda harus membuat cerita baru perekonomiannya sendiri dalam mewujudkan mimpinya (Sundanese Dreams).

 

Sobirin, Pakar ilmu lingkungan menjadi pembicara ketiga. Mengaku sebagai Sunda mukimin (pria kelahiran Jawa tengah ini telah tinggal lebih dari 40  tahun di tanah Sunda), ia merepresentasikan para pendatang yang akhirnya menjadikan tanah Sunda sebagai tanah airnya yang kedua. Sobirin adalah tenaga ahli di DPLKTS dalam pengasuhan Solihin GP, sesepuh Sunda yang sangat dihormati. Sobirin memaparkan daya dukung tanah dan air di Jawa Barat pada masa kini dan masa datang beserta solusi yang ditawarkannya. Terkait sumber daya air Sobirin mengungkapkan bahwa pada tahun 2020 dengan jumlah penduduk 49 juta jiwa Jabar maka kebutuhan airnya mencapai 99,8 milyar m3/tahun padahal ketersediaan air hanya 48 milyar m3/tahun, dan diproyeksikan pada tahun 2040 jumlah penduduk telah mencapai 60,5 juta jiwa dengan kebutuhan air melonjak mencapai 121 milyar m3/tahun padahal ketersediaan air masih tetap sama seperti tahun 2020 yakni 48 milyar m3/tahun.  ini jelas akan menimbulkan masalah yang serius.  Karenanya Sobirin menyodorkan masukan kebijakan dan strategi bagi Provinsi Jawa Barat dalam pengelolaan sumber daya air tahun 2045 yakni: (1) revisi regulasi penguasaan lahan karena berdampak pada degradasi lingkungan dsn sumber daya air, (2) tingkatkan koordinasi lintas wilayah dan sektor terkait pengelolaan sumber daya air terpadu, (3) mendorong kemitraan pemereintah dengn dunia bisnis melalui pengembangan program corporate social responsibility dalam pengelolaan lingkungan air dan sumber daya air, (4) meningkatkan partispasi masyarakat melalui sosialisasi, edukasi, pendampingan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya air, dan (5) menerapkan metode yang menyeimbangkan teknologi modern dan local wisdom dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya air.  Sementar dalam hal daya dukung tanah(lahan) di Jawa Barat, Sobirin menyodorkan sejumlah fakta tentang alih fungsi lahan pertanian dan hutan dalam skala besar yang semakin mencemaskan. Masih menurut Sobirin, bila penguasaan oleh pihak luar atau asing di Jawa Barat dibiarkan tanpa pengendalian dan pengawasan yang memadai, maka akan terjadi krisis multidimensi yang ditandai dengan merosotnya ketahanan pangan, lingkungan dan sosial, hilangnya kedaulatan pemerintah daerah atas sumber daya agraria, serta meningkatnya konflik dan ketimpangan yang berpotensi memicu instabilitas keamanan dan politik di Jawa Barat.

 

Paparan terakhir disampaikan oleh Ganjar Kurnia, yang menawarkan sebuah  strategi kebudayaan dalam menyongsong masa depan Sunda. Berbekal dengan data demografi urang Sunda (utamanya di Jawa Barat) Ganjar membuat sebuah diagram cartesius posisi Urang Sunda, dengan sumbu x adalah kebijakan pemerintah dan sumbu Y adalah kesadaran masyarakat. Dalam diagram tersebut dibuatnya empat kondisi, pertama ketika kebijakan pemerintah buruk dan kesadaran masyarakat rendah yang terjadi adalah burakna Sunda (rusaknya Sunda), sementara bila kebijakan pemerintah begitu baik namun kesadaran masyarakat begitu rendah maka yang terjadi adalah mangsa Sunda Ngalanglayung, sebaliknya bila kebijakan pemerintah buruk namun kesadaran masyarakatnya tinggi yang terjadi adalah sunda lir surya kalingan, dan menurut Ganjar yang ideal adalah Sunda nanjer nu mangsana ini terjadi ketika kebijakan pemerintah baik dan kesadaran masyarakat juga tinggi. Untuk mencapai kondisi ideal tersebut, Ganjar merekomendasikan apa yang harus dilakukan urang Sunda pada masa mendatang, yakni intervensi langsung terhadap persoalanpersoalan berkenaan dengan kebijakan, melakukan pemekaran kabupaten/kota, bila ada pemekaran provinsi maka nilai-nilai Sunda harus menjadi landasannya, internasiliasi nilai-nilai kesundaan melalui pendidikan, pembangunan fisik janganlah mengecilkan kebudayaan, dan melaksanakan Undang-undang No.5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan. Ganjar juga menyampaikan imbauan bahwa setiap urang Sunda dimana pun mereka berada, dalam posisi dan jabatan apapun memiliki tiga tanggungjawab yang sama yakni Nyaah ka rahayatna (sayang kepada rakyatnya), Ngarumat lemah caina (merawat tanah airnya), dan rumawat ka kabudayaanna (memelihara kebudayaannya).

 

Dalam penyampaian kata akhir dari diskusi salah satu sesepuh FSN, Ade Sopandi menegaskan bahwa sudah saatnya urang Sunda mengembangkan nilai-nilai kesundaannya yang dapat diturunkan kepada generasi berikutnya. Ia juga merekomendasi perlunya standardisasi nilai-nilai Sunda seperti yang tertampilkan pada penggunaan pakaian maupun bentuk-bentuk ekspresi kesundaan lainnya.

 

Diskusi sendiri cenderung datar, mungkin karena sudah terdapat kesamaan pemikiran, gagasan dan harapan yang terbentuk dari proses diskusi panjang dan panas di WAG Pakar Kongres Sunda. Sejumlah tokoh menyampaikan pandangannya, antara lain Eni Sumarni dari DPD RI perwakilan Jawa Barat, Sodiq Mujahid anggota DPR RI dari Jawa Barat, Okki Judanegara,  Roza, Tatang Sudrajat, Iwan Sulanjana, hingga tokoh muda  Utun dan Gilar. Menariknya, meski tema diskusi adalah tentang masa depan, peserta Sawala tidak banyak membahas masa depan seperti apa yang bakal dihadapi Urang Sunda. Semua peserta sepakat untuk segera mendeklarasikan perlunya sebuah gunung pananggeuhan bagi Urang Sunda. Perdebatan hanya muncul apakah menggunakan nama Majelis Permusyawaratan Rakyat Sunda atau Majelis Permusyawaratan Sunda. Penggunaan kata Rakyat dianggap dapat memberikan interpretasi politis terkait relasi kekuasaan yang pragmatis. Sementara jika menyebut Majelis Permusyaratan  Sunda saja lebih merujuk kepada entitas peradaban yang lebih netral dan luhur.

 

Panitia bergerak cepat, pada penghujung acara sudah berhasil merumuskan sebuah deklarasi yang diberi nama Deklarasi Padjadjaran (mengambil nama dari Universitas tempat Sawala ilaksanakan). Pembacaan deklarasi disusul dengan penandatanganan pernyataan dukungan di atas sebuah kanvas kosong yang telah disiapkan. Deklarasi tersebut dibacakan oleh Mahpudi didampingi oleh Andri Kantaprawira dan Nina Kurnia Hikmawati.

 

Deklarasi Padjadjaran menyatakan perlunya segera dibentuk majelis permusyawaratan sebagaimana dibahas pada bagian awal. Ini ditindaklanjuti oleh FSN dengan melakukan pertemuan yang lebih kecil pada 2 September 2023 mengambil tempat di Bale Rumawat, Kampus Unpad Jalan Dipati Ukur Bandung. Kali ini peserta yang hadir lebih sedikit dan secara khusus menghadirkna Yudi Latief, tokoh Sunda yang banyak mengetahui soal ketatakelolaan institusi peradaban. Pertemuan bertajuk Matotoskeun Deklarasi Padjajaran Perkawis Gunung Pananggeuhan Sunda dimoderatori oleh Mahpudi, menghasikan sebuah formulasi terkait majelis dimaksud: (a) Nama yang dipilih untuk entitas ini adalah Majelis Musyawarah Sunda (MMS), yang bertugas menjaga nilai-nilai Sunda dan memberikan masukan atau halhal lain, dan menjadi gunung panangeuhan tempat andalan Orang Sunda kalau ada apa-apa bisa bermusyawarah perihal kesundaan. (b) Format majelis bersifat kaukus, mengakomodasi seluruh elemen keorganisasian maupun individu dari Urang Sunda, sebagai bagian dari MMS. Kepemimpinan majelis bersifat kolektif kolegial dan bergilir dalam kurun waktu pergantiannya 6 bulan- 1 tahun sekali. (c) MMS memiliki tiga ruang yakni  (1) Kasepuhan/Karamaan yang kelak diisi oleh individu-individu bijaksana, baik secara personal maupun ex-officio dari berbagai entitas termasuk pemerintahan. (2) Karesian semacam dewan pakar yang diisi oleh individu-indivdiu yang memiliki kepakaran dalam berbagai bidang kehidupan untamanya terkait dengan usaha pemajuan peradaban Sunda. (3) Karatuan yang bertindak sebagai badan pekerja, dimana aktivitas kesekretariatan dan opersionalisasi MMS di jalankan.

 

Penutup

Sesungguhnya lahirnya MMS baru lah sebuah permulaan dari sejarah panjang pembangunan peradaban Sunda modern. Saatnya Urang Sunda melakukan kerja-kerja kerja peradaban, tak lagi mengeluh apalagi “curhat” di media-media sosial, karena mereka kini punya instrumen peradaban yang cukup mumpuni dan sesuai dengan impian mereka. Sebuah majelis permusyawaratan yang menjadi gunung panangeuhan bagi berbagai permasalahan peradaban Sunda di masa datang, yang di dalamnya terdapat tiga ruang pembakaran yang mampu menggerakkan seluruh elemen Urang Sunda bergerak bersama mewujudkan Sunda mulia Indonesia Jaya sebagaimana yang mereka impikan. Mengutip pesan Ganjar Kurnia, Strategi ini tak akan berhasil, percuma saja dirumuskan,  jika tiga tanggungjawab peradaban tak dilakukan oleh Urang Sunda dimana pun mereka berada yakni: Nyaah ka rahayatna (sayang kepada rakyatnya), Ngarumat lemah caina (merawat tanah airnya), dan rumawat ka kabudayaanna (memelihara kebudayaannya).

 

Bodogol, 09/09/2023, ditulis oleh Mahpudi.